AKSELERASI AKTIVITAS KEPARIWISATAAN DI DKI JAKARTA MELALUI PERAN AKTIF PEMUDA
0
komentar
Berita Ampun Jakarta
-
AKSELERASI AKTIVITAS KEPARIWISATAAN
DI DKI JAKARTA
MELALUI PERAN AKTIF PEMUDA
MELALUI PERAN AKTIF PEMUDA
Basuki Antariksa
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kepariwisataan
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif
Jalan Medan Merdeka Barat No. 17
Jakarta 10110
e-mail: antariksa70@yahoo.com;
antariksa.basuki@gmail.com
Pengantar
Pemuda memiliki peran yang sangat strategis dalam hal
apapun, termasuk pembangunan kepariwisataan. Oleh karena itu, keterlibatan
mereka menjadi sangat penting bila diharapkan akan diwujudkan pembangunan
kepariwisataan yang berkelanjutan. Hal tersebut menjadi lebih relevan ketika
dikaitkan dengan berbagai upaya untuk percepatan aktivitas kepariwisataan dalam
rangka mendukung proses pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk
DKI Jakarta, sebagai “wajah” Indonesia dan pintu gerbang untuk mengenal
Indonesia lebih dalam. Namun demikian, sebelum sampai kepada isu percepatan
aktivitas kepariwisataan, perlu dipahami terlebih dahulu hal-hal yang berkaitan
dengan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, untuk mencegah terjadinya
berbagai persoalan dalam jangka panjang yang justru akan merusak tujuan
pembangunan kepariwisataan itu sendiri di wilayah ibu kota Republik Indonesia.
Tulisan ini disusun sebagai salah satu media untuk mendorong pencapaian tujuan
tersebut.
Pariwisata dan Pembangunan di Negara Sedang Berkembang
Pendapat mengenai peran kepariwisataan dalam pembangunan dan
terlebih lagi untuk negara sedang berkembang – sudah seringkali diungkapkan di
dalam berbagai literatur. Secara garis besar keuntungan-keuntungan dimaksud
dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, ada berbagai keuntungan yang
dapat diraih, antara lain: terbukanya lapangan pekerjaan; peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar destinasi pariwisata; meningkatkan
nilai/citra suatu wilayah geografis, termasuk yang miskin akan sumber daya
ekonomi, dan mendorong revitalisasi suatu wilayah geografis yang telah
kehilangan daya tariknya, misalnya kota tua atau wilayah bekas pertambangan
(Ryan, 1991).1 Kedua, bagi negara sedang berkembang, industri
pariwisata dapat dikatakan merupakan media pembangunan ekonomi yang tidak
memerlukan investasi terlalu besar dalam jangka panjang sebelum dapat
memberikan keuntungan. Daya tarik wisata yang merupakan salah satu modal utama
untuk pengembangan kepariwisataan, sudah tersedia. Jika dibandingkan dengan
misalnya pengembangan industri otomotif, dibutuhkan modal yang sangat besar dan
waktu yang cukup lama sebelum keuntungan dapat diperoleh. Ketiga, dalam
melaksanakan pembangunan dibutuhkan dana pendukung. Jika hal tersebut
bergantung kepada teknologi dari negara lain, maka devisa untuk pembangunan
akan tersedot ke luar negeri karena keharusan untuk mengimpor barang modal dan
barang habis pakai (terjadi leakage atau kebocoran devisa). Sektor
pariwisata dapat mengurangi ketergantungan impor karena sebagian besar barang
modal dan barang habis pakai dapat disediakan oleh destinasi pariwisata,
seperti kerajinan tangan, makanan dan minuman, dan daya tarik wisata (Sasmojo,
2004).2
Keempat, sekedar untuk memperkuat nilai
positif kepariwisataan, data statistik menunjukkan perannya yang sangat besar
dalam perekonomian dunia. United Nations’ World Tourism Organization
(UNWTO) melaporkan bahwa pada tahun 2010 jumlah kunjungan internasional telah
mencapai angka 940 juta kali dan menghasilkan keuntungan sebesar US$ 919
milyar.3 Diperkirakan bahwa pada tahun 2020, jumlah kunjungan internasional
akan mencapai angka 1,56 milyar kali, dengan peningkatan jumlah perjalanan
jarak jauh (long-haul) dari 18% menjadi 24%.4 Sekedar
catatan, perjalanan jarak jauh pada umumnya dilakukan oleh wisatawan dari
negara-negara kaya menuju destinasi pariwisata di negara sedang berkembang.
Dengan demikian, terdapat peluang yang lebih besar bagi Indonesia untuk menarik
lebih banyak segmen pasar tersebut.
Kelima, berkaitan langsung dengan upaya
pengentasan kemiskinan, sektor pariwisata memiliki peran yang sangat penting
untuk mendukung perwujudannya. Industri pariwisata dapat mengurangi tingkat
kemiskinan karena karakteristiknya yang khas sebagai berikut:
1. Konsumennya
datang ke tempat tujuan sehingga membuka peluang bagi penduduk lokal untuk
memasarkan berbagai komoditi dan pelayanan;
2. Membuka
peluang bagi upaya untuk mendiversifikasikan ekonomi lokal yang dapat menyentuh
kawasan-kawasan marginal;
3. Membuka
peluang bagi usaha-usaha ekonomi padat karya yang berskala kecil dan menengah
yang terjangkau oleh kaum miskin; dan,
4. Tidak
hanya tergantung pada modal, akan tetapi juga tergantung pada modal budaya (cultural
capital) dan modal alam (natural capital) yang seringkali merupakan
asset yang dimiliki oleh kaum miskin (Tjokrowinoto, 2005).5
Mengapa Kepariwisataan Muncul dan Berkembang?
Kepariwisataan adalah sebuah fenomena yang berkaitan dengan
aktivitas perjalanan yang dilakukan seseorang keluar dari lingkungan tempat
tinggalnya yang biasa, dalam jangka waktu sementara, untuk keperluan apapun
kecuali bekerja. Konsekuensi dari fenomena ini adalah diperolehnya pengalaman
ketika melakukan perjalanan (travel experience) dan diproduksinya
infrastruktur, barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan para pelaku perjalanan
tersebut, atau yang dikenal dengan istilah wisatawan.6 Pertanyaannya
kemudian adalah mengapa orang melakukan perjalanan keluar dari lingkungan
tempat tinggalnya yang biasa? Seseorang tidak akan mungkin melakukan perjalanan
seperti itu jika tidak ada motivasi yang mendorongnya, baik secara sukarela ataupun
tidak. Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, R.W. McIntosh7
mengungkapkan bahwa motivasi untuk berwisata adalah sebagai berikut:
1. Pleasure
(bersenang-senang), dengan tujuan “melarikan diri” untuk sementara dari
rutinitas sehari-hari;
2. Relaxation,
rest and recreation (beristirahat untuk menghilangkan stress), dengan
tujuan untuk menjaga kesehatan tubuh dan pikiran. Hal tersebut antara lain
dilakukan dengan mengunjungi lingkungan yang berbeda dengan yang dilihatnya
sehari-hari, di mana lingkungan tersebut memberikan kesan damai dan
menyehatkan;
3. Health
(kesehatan), yaitu berkunjung ke tempat-tempat yang dapat membantu menjaga
kesehatan atau menyembuhkan penyakit;
4. Participation
in sports (olah raga yang bersifat rekreasi);
5. Curiosity
and culture (rasa ingin tahu dan motivasi yang berkaitan dengan
kebudayaan), yang saat ini semakin meningkat kualitasnya karena perkembangan
teknologi informasi dan peningkatan kualitas pendidikan. Motivasi yang menjadi
latar belakang seseorang melakukan kunjungan seperti ini adalah keinginan untuk
melihat destinasi pariwisata yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat
tinggi atau yang menyelenggarakan aktivitas budaya yang sangat penting, seperti
festival musik, festival seni, teater dan sebagainya;
6. Ethnic
and family (kesamaan etnik dan kunjungan kepada keluarga). Khusus berkaitan
dengan kesamaan etnik, orang dapat termotivasi untuk mengunjungi suatu tempat
karena dianggap sebagai tempat tinggal/kelahiran nenek moyangnya;
7. Spiritual
and religious (alasan yang bersifat spiritual dan keagamaan);
8. Status
and prestige (menunjukkan status sosial dan gengsi), dengan tujuan untuk
menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang memiliki status sosial dan gengsi
yang tinggi karena mampu berwisata ke suatu destinasi pariwisata tertentu; dan,
9. Professional
or business (melakukan aktivitas yang berkaitan dengan profesi/pekerjaan),
misalnya aktivitas menghadiri suatu sidang atau konferensi.
Oleh karena itu, ketika kepariwisataan akan
dikembangkan, maka yang harus dipahami adalah bahwa pengembangan tersebut
ditujukan untuk “membantu” wisatawan mewujudkan motivasi-motivasi sebagaimana
yang telah diuraikan. Pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan tidak
didasarkan kepada paradigma bahwa wisatawan adalah “mangsa” yang akan untuk
dikuras isi kantongnya. Paradigma semacam ini akan menyebabkan suatu destinasi
pariwisata kehilangan pelanggan setia, karena wisatawan merasa dieksploitasi.
Perlu dipahami pula bahwa kepariwisataan adalah suatu
fenomena yang akan selalu mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat yang
tinggal di sekitar destinasi pariwisata. Hal ini disebabkan mereka membawa
uang, memiliki latar belakang kebudayaan yang (mungkin) sangat berbeda, dan
menggunakan sumber daya alam dan buatan yang juga dimanfaatkan oleh penduduk
setempat. Dengan demikian, penduduk setempat juga memiliki
kepentingan-kepentingan yang harus dihormati dalam kaitannya dengan pembangunan
kepariwisataan yang berkelanjutan, yaitu:
1. tidak
menjadi korban eksploitasi;
2. jaminan
akan kestabilan struktur kehidupan sosial masyarakat (misalnya untuk
menghindari konflik antara generasi muda yang memiliki kompetensi lebih baik
daripada golongan senior yang kurang memiliki keahlian, antara wanita dan pria,
dan sebagainya);
3. jaminan
tidak terjadinya dampak negatif pemanfaatan elemen-elemen kebudayaan secara
komersial;
4. jaminan
tidak terjadinya materialisme dan individualisme yang berlebihan;
5. jaminan
tidak hilangnya akses terhadap sumber daya alam; dan,
6. jaminan
keamanan dan kenyamanan (misalnya tidak terganggu atau terusir oleh para
pendatang, tidak terjadi peningkatan prostitusi, penggunaan obat-obatan
terlarang, dan sebagainya)(Beeton, 2006).8
Kemudian, bagaimana mengukur keberhasilan dalam pembangunan
kepariwisataan? Pada umumnya yang digunakan sebagai parameter adalah jumlah
kunjungan wisatawan dan uang yang dibelanjakannya. Dalam jangka pendek,
parameter-parameter tersebut memang diperlukan untuk mengukur tingkat
keberhasilan pembangunan kepariwisataan. Namun demikian, dalam jangka panjang,
parameter-parameter tersebut dapat merusak tujuan pembangunan kepariwisataan
yang berkelanjutan jika tidak dipahami dan dikelola dengan tepat. Sebagai
contoh, sekitar 87% emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh sektor transportasi.
Walaupun belum diketahui seberapa besar kontribusi sektor transportasi udara di
tingkat global terhadap volume emisi tersebut, diperkirakan jumlahnya paling
besar. Sebagai contoh, di Eropa, pada tahun 2000, jumlah emisi gas rumah kaca
yang dihasilkan dari sektor transportasi udara telah mencapai angka 75% dari
nilai total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh seluruh jenis sarana
transportasi yang digunakan (L.E. Preston).9 Persoalan ini bersifat
dilematis karena sektor transportasi udara memberikan sumbangan terbesar
terhadap pergerakan wisatawan dari negara maju ke destinasi pariwisata di
negara sedang berkembang (C.L. Jenkins dan B.M. Henry).10
Peran Kepariwisataan: Menjadi Sektor Pendukung Pembangunan
atau Sektor Utama Pembangunan?
Ada sebuah ungkapan yang menarik tentang inti peran
kepariwisataan, yaitu bahwa: “tourism is doing business in a smart way”.
Ungkapan ini dapat dikatakan sangat tepat untuk menggambarkan sektor pariwisata
yang tidak dapat berdiri sendiri atau merupakan komposit dari berbagai elemen.
Kepariwisataan adalah sebuah konsep, bukan suatu sektor kegiatan yang bersifat
spesifik seperti sektor transportasi dengan unsur-unsurnya yang jelas seperti
kendaraan, jalan raya, dan sebagainya. Dengan demikian, sektor pariwisata tidak
perlu dipaksakan untuk menjadi sektor utama pembangunan, namun lebih baik
berperan sebagai sektor pendukung bagi pembangunan sektor lainnya. Hal yang
perlu dipahami adalah bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi sektor
pendukung. Ibarat permainan sepak bola, seorang penyerang utama tidak akan
dapat menyelesaikan perannya mencetak gol atau membawa kemenangan bagi timnya
jika tidak didukung oleh pemain belakang dan lapangan tengah.
Berdasarkan uraian di atas, pariwisata dapat dijadikan
sebagai suatu media “kemasan” yang lebih menarik untuk menjual sesuatu. Sebagai
contoh, jika sekedar ingin menarik perhatian wisatawan untuk menikmati panorama
di bawah laut, tentunya tidak akan mudah karena pemandangan di bawah laut
terdapat di berbagai tempat di dunia. Namun, jika dikaitkan dengan “kemasan”
daya tarik dalam bentuk keberadaan ikan purba jenis Coelacanth yang
masih hidup di laut tersebut (yang diperkirakan seharusnya sudah punah 65 juta
tahun yang lalu)11 sebagaimana terjadi di perairan Sulawesi, maka
wilayah itu dapat menjadi destinasi pariwisata. Lebih dari itu, aktivitas
ekonomi kemudian dapat diarahkan kepada penjualan berbagai macam suvenir (dan
berbagai cerita, baik dalam bentuk mitos maupun yang memiliki landasan ilmiah)
yang berkaitan dengan ikan purba tersebut (kaos, magnet, buku dan sebagainya)
tanpa mengganggu kelestariannya dan ekosistem tempatnya hidup. Melalui daya
tarik ikan Coelacanth, para pemangku kepentingan di sana dapat “menjual”
Pulau Sulawesi dengan lebih baik, termasuk memberikan jalan bagi peningkatan
penjualan produk-produk khas wilayah tersebut seperti Kopi Toraja, Minyak Tawon
dan sebagainya.
Sebagai perbandingan, di negara maju, nampaknya fungsi
pariwisata sebagai sektor pendukung penjualan produk-produk yang dihasilkan
mereka telah dilaksanakan secara konsisten, antara lain melalui sektor
perfilman. Beberapa contoh di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Sekuel
film Transformer, yang antara lain bertujuan untuk lebih memperkenalkan
kepada dunia, produk otomotif buatan AS, seperti General Motors, Chevrolet,
Pontiac, dan sekaligus juga meningkatkan daya tarik wisata beberapa
negara seperti Mesir (Pyramid Giza), Rusia (Chernobyl) dan Cina;
2. Sekuel
film Harry Potter, yang antara lain bertujuan untuk lebih memberikan
daya tarik Inggris – dan khususnya kota dan Universitas Oxford – sebagai
destinasi pariwisata, karena salah satu aula universitas tertua di Inggris
tersebut digunakan sebagai lokasi pembuatan film; dan
3. Universal
Studio, seperti yang dibangun di Singapura, yang sebenarnya didasarkan
kepada film-film Hollywood yang berhasil menjadi box office di
seluruh dunia.
4. Film-film
tersebut tidak hanya menghasilkan keuntungan dari hasil penjualan tiket atau
dikenalnya produk-produk atau lokasi sebagaimana diuraikan di atas, tetapi juga
dari penjualan barang-barang lainnya seperti mainan, kaos, tas dan sebagainya.
Sekedar contoh, keuntungan Hasbro, produsen mainan robot dalam film Transformers:
Dark of the Moon, mencapai angka US$170,7 juta.12
Jika pariwisata dipaksakan untuk menjadi sektor utama
pembangunan, berdasarkan pengalaman di lapangan, seringkali terjadi persoalan
berupa tidak efektif dan efisiennya implementasi kebijakan yang ditetapkan.
Penyebab utamanya adalah karena sektor pariwisata tidak memiliki kewenangan
secara langsung untuk menentukan pergerakan manusia, seperti: membangun bandar
udara, jalan raya, keimigrasian, kelayakan operasional kendaraan, dan
sebagainya. Sehubungan dengan perannya sebagai sektor pendukung dan ungkapan
tersebut di atas, maka dibutuhkan pola pikir yang sangat kreatif untuk dapat
mewujudkannya secara optimal.
Pariwisata di Wilayah Perkotaan
Saat ini, persaingan untuk menjadi destinasi pariwisata
tidak lagi hanya berada pada tataran antar negara, namun sudah sampai pada
tataran antar kota. Dengan demikian, DKI Jakarta mungkin harus bersaing dengan
Kuala Lumpur atau Singapura dalam rangka merebut perhatian wisatawan. Bahkan,
DKI Jakarta juga harus bersaing dengan kota-kota yang ada di wilayah Indonesia sendiri.
Ini berarti bahwa beban pembuat kebijakan di bidang kepariwisataan di wilayah
perkotaan menjadi semakin berat dalam memenangkan persaingan sebagai destinasi
pariwisata unggulan.
Kemudian, pertanyaannya adalah apa saja yang menjadi daya
tarik wisata sebuah kota? Di dalam bukunya yang berjudul Tourism and
Regional Development, K.K. Sharma menyebutkan bahwa sebuah kota memiliki
daya tarik wisata dalam bentuk:
1.
rimary Elements:
a. Activity
Place: cultural facilities; entertainment facilities; events and
festivities; exhibitions, craftworks;
b. Leisure
Setting:
1) Physical
setting: historical pattern; monuments; art objects; parks, green spaces;
waterfronts, canals, harbour;
2) Social/cultural
characteristics: liveliness of the place; language, local customs, folklore;
way of life;
2. Secondary
Elements: catering facilities; shopping facilities; markets; dan,
3. Conditional
Elements: accesibility; parking facilities; touristic infrastructure
(information bureau, signposts, guides).13
Namun demikian, mengingat persaingan yang semakin ketat
sebagaimana telah diuraikan di atas, maka DKI Jakarta harus memiliki strategi
memposisikan dirinya (positioning) dengan perbedaan yang jelas
dibandingkan dengan kota-kota lainnya (differentiation). Dalam
menciptakan strategi dimaksud, harus dipahami terlebih dahulu mengenai beberapa
hal. Pertama, ketika DKI Jakarta menetapkan strategi positioning, itu
sama artinya dengan membentuk citra tentang dirinya. Berkaitan dengan hal
tersebut, para pakar di bidang komunikasi berpandangan bahwa “if you are
going to sell your image, sell your reality first”. Dengan demikian, slogan
yang akan dipilih sebagai ungkapan positioning tidak boleh terlalu
berseberangan dengan kenyataan mengenai citra DKI Jakarta saat ini. Hal ini
juga mengajarkan kepada kita untuk berupaya mengubah kondisi DKI Jakarta agar
dapat menjual citra yang lebih baik di masa yang akan datang.
Kedua, jika slogan yang telah dibuat kemudian tidak dapat
dibuktikan dalam kenyataan, maka slogan tersebut akan menjadi bumerang bagi
pembangunan kepariwisataan DKI Jakarta sendiri. Oleh karena itu, menetapkan
slogan tentang kepariwisataan DKI Jakarta bukan akhir dari segalanya, melainkan
justru awal dari pertaruhan jangka panjang untuk memajukan atau menghancurkan
kepariwisataan di ibu kota Republik Indonesia. Hal tersebut tidak jauh berbeda
dengan yang diungkapkan oleh Jack Trout dan Steve Rivkin: “If
you have a product difference, then you should able to demonstrate that difference.
The demonstration, in turn, becomes your credentials…Claims of difference
without proof are really just claims”.14
Pengembangan kepariwisataan di wilayah perkotaan bukan tanpa
tantangan yang besar. Di dalam berbagai tulisan mengenai pembangunan di kawasan
perkotaan diungkapkan kerisauan tentang terabaikannya keseimbangan ekologis,
kecenderungan dehumanisasi di daerah perkotaan, ketidakadilan dalam
pendistribusian lahan atau ruang kota, dan melebarnya jurang kaya-miskin.
Persoalan lainnya yang dihadapi perkotaan adalah tantangan menghadapi
kecenderungan eksklusivisme yang menimbulkan kesan isolasi atau segregasi
sosial. Akibat ikutannya adalah tumbuhnya rasa kecemburuan sosial karena
kesenjangan yang terlalu lebar. Dengan tipisnya kohesi sosial, tidak pelak lagi
merebaklah apatisme. Masyarakat perkotaan tidak lagi memiliki rasa memiliki
yang kental terhadap lingkungan, dan angka kriminalitas pun meningkat karena
tipisnya nuansa neighbourliness atau sense of community (Budihardjo,
E. dan Sujarto, D. 2009).15
Untuk menciptakan sebuah kota yang mampu mewujudkan citra
sebagai suatu wilayah yang bersahabat, maka segenap pihak yang terlibat dalam
proses perencanaan dan pembangunan kota mesti bersepakat untuk memperlakukan
kota sebagai ‘rumah’, bukan sebagai ‘hotel’. Bila rumah rusak, kita pasti
berusaha memperbaikinya, sedangkan bila hotel yang rusak, pasti akan kita
tinggalkan untuk kemudian mencari hotel lain yang lebih baik. Dengan demikian,
maka akan dapat diwujudkan apa yang dinamakan sebagai kota yang berkelanjutan,
yaitu suatu daerah perkotaan yang mampu berkompetisi secara sukses dalam
pertarungan ekonomi global namun tetap mempertahankan vitalitas budaya serta
keserasian lingkungan. Keberlanjutan itu sendiri pada hakikatnya adalah suatu
etika, suatu perangkat prinsip-prinsip, dan pandangan ke masa depan
(Budihardjo, E. dan Sujarto, D. 2009).16
Peter Lang menyebutkan bahwa kota-kota besar
di dunia sekarang dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan
ekonomi. Pihak yang diuntungkan dalam peperangan, yang disebutnya sebagai everyday
war itu, adalah terutama para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang
berkesempatan memanipulasi demi keuntungan mereka sendiri. Sebagai contoh,
diduga bahwa lobi para pengusaha mobil yang sangat kuat menyebabkan
tersendatnya atau tertundanya pembangunan sistem transportasi massal. Berkaitan
dengan uraian tersebut di atas, dalam jangka panjang, kesemrawutan wilayah
perkotaan dan keberingasan warganya akan berdampak negatif dalam wujud
kekacauan suasana, rasa tidak aman penanam modal, terhambatnya lalu lintas, dan
ketidakpastian masa depan ekonomi perkotaan. Oleh karena itu, untuk
menanggulangi dan mencegah kemungkinan kota tertimpa musibah menjadi apa yang
disebut sebagai necropolis (kota mayat), Donald McDonald17
merekomendasikan gagasan mengenai “Kota Demokratis”. Beberapa butir pokok dari
konsep tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Setiap warga kota mesti diberi
kesempatan ikut berbicara tentang nasib dan masa depan kotanya;
2.
Keberagaman mosaik masyarakat
perkotaan harus diwadahi dan tercermin dalam tata ruangnya;
3.
Pusat-pusat lingkungan yang
sekaligus merupakan simpul jasa transportasi (umum) seyogianya masih dalam
jarak jangkau jalan kaki, dengan jalan-jalan yang ramping;
4.
Perlu lebih digalakkan pelestarian
taman atau pengadaan ruang-ruang terbuka untuk umum, sebagai wahana kontak
sosial, dalam berbagai skala, mulai dari skala rukun tetangga sampai ke skala
kota;
5.
Perencanaan tata lingkungan
perumahan dan pemukiman agar diarahkan untuk mendukung terciptanya rasa tempat
dan semangat komunitas yang akan menumbuhkan rasa memiliki dan tekad untuk
memelihara lingkungan karena solidaritas sosial yang tinggi;
6.
Sebagai mesin pertumbuhan ekonomi,
kota memang membutuhkan peran serta aktif kalangan swasta, namun sepatutnya
diarahkan dan dikendalikan dengan baik oleh manajer pembangunan kota; dan,
7.
Pola-pola advokasi untuk
menjembatani perbedaan kepentingan dan untuk menyelesaikan konflik seyogianya
mulai dicoba untuk diterapkan (Budihardjo, E. dan Sujarto, D. 2009).
Tantangan Bagi DKI Jakarta
Untuk mewujudkan DKI Jakarta sebagai destinasi pariwisata
unggulan yang berkelanjutan, nampaknya juga masih ada sejumlah tantangan yang
harus diselesaikan. Beberapa di antaranya akan diuraikan secara singkat di
dalam tulisan ini. Sekedar catatan, informasi mengenai hal ini pernah
disampaikan di dalam kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kepariwisataan Tingkat
Lanjutan Tahun 2010, yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Pemerintah DKI Jakarta, pada tanggal 8 Desember 2010, melalui makalah yang
berjudul “Penegakan Hukum Kepariwisataan Dalam Rangka Meningkatkan Daya
Saing DKI Jakarta Sebagai Destinasi Pariwisata Internasional”.
Hingga bulan Mei 2010, diperkirakan bahwa penduduk DKI
Jakarta pada siang hari mencapai angka 20,7 juta orang, didasarkan kepada
jumlah perjalanan yang dilakukan dengan kendaraan. Populasi kendaraan roda
empat telah mencapai angka 3 juta unit dan jumlah sepeda motor tercatat
sebanyak 8 juta unit. Angka pertumbuhan kendaraan mobil adalah ±240 unit per
hari dan sepeda motor mencapai angka ±890 per hari.18 Dikaitkan
dengan polusi udara yang ditimbulkannya, sekitar 46% kasus penyakit di DKI
Jakarta adalah penyakit yang berkaitan dengan saluran pernafasan.19
Jika situasi polusi udara tidak berubah, maka diperkirakan bahwa warga DKI
Jakarta harus membelanjakan Rp. 4,3 triliun pada tahun 2015 untuk biaya
penanggulangan penyakit yang berkaitan dengannya.20
Persoalan lingkungan hidup tidak hanya sampai di sana. Pakar
lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Dr. Firdaus Ali, MSc, pada
bulan Desember 2009 mengatakan bahwa kemacetan di seluruh pelosok Jakarta
mengakibatkan kerugian mencapai Rp. 28,1 triliun per tahun. Dari total kerugian
itu, kerugian akibat bahan bakar minyak yang terbuang percuma mencapai Rp. 10,7
triliun, waktu produktif yang hilang Rp. 9,7 triliun, kerugian pemilik angkutan
umum Rp. 1,9 triliun, dan kerugian kesehatan Rp. 5,8 triliun.21
Mengenai masalah kualitas sumber daya air, Direktur Utama
Perusahaan Daerah Pengolahan Air Limbah (PAL) Jaya Liliansari Loedin menyatakan
bahwa 82 persen sungai di DKI Jakarta telah tercemar berat sepanjang tahun
karena buruknya sanitasi di Jakarta. Dari 75 sumur yang dipantau di DKI
Jakarta, kandungan bakteri ecoli 38 sumur melebihi baku mutu karena tercemar
oleh septic tank milik warga. Selain itu, hingga kini, layanan pengolahan air
limbah Perusahaan Daerah PAL Jaya baru menjangkau 196.600 jiwa warga DKI
Jakarta. Sementara itu, limbah yang tidak terjangkau oleh layanan dibuang
langsung ke saluran drainase dan ke sungai.22
Masalah sampah juga memiliki relevansi dengan kebijakan
kepariwisataan, karena wisatawan berkontribusi terhadap jumlah sampah yang
dibuang. Ditinjau dari kondisi pengelolaan sampah saat ini, menurut BPLHD
Jakarta, total produksi sampah domestik di DKI Jakarta sekitar 6000 ton/hari,
di mana sekitar 85% dari jumlah tersebut mampu diangkut ke Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) sementara 15% sisanya tercecer di selokan, sungai, lahan kosong,
dan jalan-jalan. Data lain dari Wakil Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI
Jakarta pada tahun 2006 menunjukkan bahwa volume sampah yang masuk ke Teluk
Jakarta mencapai 600 meter kubik (atau setara dengan 144 ton) per hari.23
Sementara itu, menurut data Firdaus Ali, hingga akhir 2008 total jumlah
timbunan sampah DKI Jakarta mencapai 27.966 meter kubik per hari atau 6.663 ton
per hari.24
Penegakan hukum kepariwisataan yang berkaitan dengan masalah
keamanan terhadap kejahatan perlu mendapat perhatian serius karena data Polda
Metro Jaya tahun 2008 menunjukkan bahwa kasus kejahatan di DKI Jakarta
terjadi setiap 9 menit 21 detik. Adapun jenis kejahatan yang dilakukan antara
lain pemerkosaan, pemerasan dan pengancaman, pembunuhan, perjudian, dan
pencurian kendaraan bermotor.25 Tingginya frekuensi kejahatan yang
terjadi di wilayah perkotaan antara lain disebabkan oleh perbedaan yang sangat
tajam dari segi kekayaan26 dan kecenderungan eksklusivisme yang
menimbulkan kesan isolasi atau segregasi sosial. Oleh karena itu, kebijakan di
bidang kepariwisataan harus menyentuh pula masalah pengurangan kesenjangan
sosial di antara anggota masyarakat DKI Jakarta. Meskipun demikian, DKI Jakarta
dapat berbangga diri karena menurut buku pedoman wisata Lonely Planet: “For
such a huge city with obvious social problems and an unhealthy reputation,
Jakarta is surprisingly safe. Violent crime is very rare and tourists are very
seldom targeted.”27 Namun, perlu dicatat bahwa persoalan
kesenjangan sosial sewaktu-waktu dapat menjadi “bom waktu” yang dapat menyebabkan
wisatawan menjadi korban, misalnya jika terjadi aksi massa karena konflik
kepentingan antar warga.
Peran Pemuda Dalam Pengembangan Kepariwisataan di DKI
Jakarta
Kurang lebih 15 (lima belas) tahun yang lalu, La Rose pernah
mengatakan bahwa di usia muda (kurang lebih hingga 30-an atau 40-an tahun),
seseorang merasa bahwa dirinya mampu mengubah dunia. Di atas kelompok usia
tersebut, seseorang mulai berpikir untuk melakukan perubahan dalam skala yang
semakin lebih kecil, hingga pada suatu titik (di sekitar usia 60-an atau 70-an
tahun) seseorang akan berkata: “saya tidak akan lagi berubah”. Hal tersebut
mungkin disebabkan di usia muda seseorang masih memiliki kekuatan fisik dan
kemampuan berpikir kreatif yang sangat tinggi. Oleh karena itu, usia muda adalah
momentum yang sangat tepat untuk merencanakan dan melakukan hal-hal yang luar
biasa, termasuk berkontribusi dan memperoleh keuntungan yang besar dalam
aktivitas pembangunan. Pemikiran La Rose juga memberikan pelajaran yang sangat
berharga bagi kita bahwa seseorang tidak boleh terlambat untuk mewujudkan
cita-cita atau idealismenya, karena jika terlambat maka dia akan kehilangan
momentum untuk berkontribusi bagi kebaikan dirinya dan masyarakat luas.
Seorang filsuf AS juga pernah mengatakan bahwa “salah
satu cara untuk mengetahui masa depan adalah dengan menciptakannya”. Oleh
karena itu, kalangan pemuda di DKI Jakarta harus mulai “menciptakan” masa depan
kepariwisataan yang berkelanjutan di wilayahnya melalui pendekatan pola pikir
yang bersifat komprehensif, terintegrasi dan kemudian mewujudkannya secara
konsisten, dalam upaya mendukung pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan.
Mereka tidak boleh terjebak di dalam suatu paradigma yang terlalu pragmatis
sehingga menjadi pemalas dan tidak mempunyai mimpi dan semangat yang luar biasa
untuk kemajuan kepariwisataan DKI Jakarta, karena hanya menyelesaikan suatu
persoalan secara parsial dan hanya untuk kebutuhan jangka pendek. Pola pikir
yang bersifat komprehensif dan terintegrasi akan memberikan kesadaran bahwa
tidak ada resep yang bersifat “instan” untuk menyelesaikan suatu persoalan.
Ibarat memproduksi sebuah mobil, kita tidak dapat memfokuskan hanya kepada
mesin atau kerangkanya, melainkan harus dilihat secara keseluruhan agar mobil
tersebut dapat berfungsi dengan baik. Hal yang sama berlaku dalam proses
pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, kita tidak dapat hanya
memfokuskan diri kepada masalah pemasaran atau pendidikan tenaga kerja
kepariwisataan, melainkan melihat kepariwisataan sebagai sebuah sistem sehingga
dapat memberikan keuntungan yang optimal bagi pembangunan DKI Jakarta secara
umum.
Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, ada sebuah
persoalan serius yang harus dihadapi oleh kalangan pemuda. Sebuah penelitian di
bidang psikologi menunjukkan bahwa kalangan muda yang lahir sejak dekade 80-an
tergolong sebagai “Generasi Z”. Tidak dipahami mengapa digunakan istilah
tersebut, namun salah satu cirinya adalah bahwa mereka sangat cepat beradaptasi
dengan teknologi, namun menjadi pribadi-pribadi yang bermental instan, tidak
berorientasi kepada proses. Persoalan ini harus ditangani secara serius karena
jika terus berkembang dapat berpotensi merusak pola pikir dan tindak para
pemuda terutama dalam kaitannya dengan proses pembangunan kepariwisataan yang
berkelanjutan.
Kemudian, peran apa yang dapat dilakukan oleh kalangan
pemuda? Dalam jangka pendek, kalangan pemuda di DKI Jakarta harus dapat
membuktikan kepada para wisatawan bahwa slogan “Enjoy Jakarta” memang
benar adanya. Selain harus dapat mendukung diferensiasi antara “menikmati” DKI
Jakarta dibandingkan dengan “menikmati” Jawa Tengah, Bali, Bangkok, Singapura,
Paris atau kota-kota lainnya, mereka juga harus dapat membuktikan bahwa
wisatawan akan dapat benar-benar menikmati perjalanannya ketika berada di
wilayah DKI Jakarta.
Kalangan pemuda juga harus dapat membantu meningkatkan kreativitas penduduk
miskin di wilayah DKI Jakarta agar mampu menghasilkan sesuatu yang berkualitas
yang dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata. Dengan demikian, tidak akan ada
“wisata kemiskinan” dalam bentuk penyajian kemiskinan penduduk lokal sebagai
daya tarik bagi wisatawan atau menjual paksa barang dan jasanya. Hal tersebut
dapat diwujudkan jika kalangan pemuda mampu mengajarkan harga diri dan
kepercayaan diri kepada masyarakat miskin. Jika tidak, maka kepariwisataan akan
menjadi sekedar hubungan antara “orang kaya” (wisatawan) dengan “pengemis”
(penduduk lokal penyedia barang dan jasa dengan kualitas yang rendah bagi
wisatawan).
Kalangan pemuda dianggap sebagai kelompok masyarakat yang
memiliki wawasan luas dan terbuka terhadap sesuatu yang baru atau asing. Oleh
karena itu, mereka diharapkan dapat menjadi “jembatan” yang dapat menghubungkan
antara kearifan lokal dengan kebutuhan wisatawan. Sebagaimana diketahui, –
apalagi berkaitan dengan wisatawan mancanegara – wisatawan beranggapan bahwa
destinasi pariwisata adalah a home away from home. Artinya, mereka
kemungkinan besar dalam kondisi tertentu akan menuntut agar mendapatkan barang
dan jasa sesuai dengan kebutuhan mereka berdasarkan latar belakang
kebudayaannya, misalnya tersedianya café atau bar. Diharapkan bahwa kapasitas
yang dimiliki oleh kalangan pemuda tersebut dapat menciptakan hubungan yang
harmonis di antara penduduk lokal dan wisatawan. Dengan demikian,
peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan kekerasan seperti penutupan tempat
hiburan secara paksa oleh kelompok masyarakat tertentu pada waktu-waktu
tertentu tidak lagi akan terjadi di masa yang akan datang.
Dalam rangka mempertahankan jati diri masyarakat di wilayah
DKI Jakarta, terutama di kalangan pemuda, perlu diterapkan suatu sistem yang
akan melibatkan mereka secara intensif untuk menciptakan daya tarik wisata
berbasis sumber daya budaya lokal. Hal tersebut akan dapat meningkatkan
kebanggaan mereka terhadap budayanya sendiri. Dengan demikian, perilaku meniru
karakter wisatawan di kalangan pemuda dapat diminimalisasi. Bahkan, akan
menjadi lebih baik jika wisatawan kemudian pulang ke tempat tinggalnya dengan
mengadaptasi kebudayaan lokal masyarakat DKI Jakarta (yang bersifat positif).
Kalangan pemuda harus menjadi pelopor dalam pengembangan
kepariwisataan berwawasan lingkungan. Pemanfaatan material yang dapat didaur
ulang dan tidak merusak lingkungan, sistem transportasi berpolusi rendah dan
sebagainya, harus menjadi perhatian utama mereka. Namun demikian, untuk
mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah. Persoalan perlindungan lingkungan
hidup selalu merupakan pertarungan antara perusahaan besar yang memiliki
kepentingan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka pendek
melawan kepentingan jangka panjang (yang sebetulnya juga akan mempengaruhi
kelangsungan hidup perusahaan tersebut). Di samping itu, perlindungan
lingkungan hidup selalu berkaitan dengan ilmu pengetahuan tentang ekosistem
yang bersifat teknis dan kompleks, sehingga membutuhkan proses pemahaman yang
mendalam.
Pada saat yang bersamaan, kalangan pemuda di DKI Jakarta
juga harus mampu mendorong peningkatan kreativitas masyarakat di wilayah
lainnya di tanah air, sehingga mereka tidak terdorong untuk melakukan
urbanisasi ke DKI Jakarta. Hal ini sangat penting karena persoalan
kemasyarakatan yang disebabkan oleh jumlah penduduk yang terlalu banyak tidak
akan pernah dapat diselesaikan secara tuntas. Sekalipun dibayangkan bahwa
tingkat pengangguran dapat ditekan hingga mencapai titik 0% melalui
kepariwisataan, persoalannya tidak selesai sampai di situ. Lingkungan hidup
memiliki aturan sendiri mengenai keterbatasan daya dukungnya. Di samping itu,
berdasarkan penelitian antropologis, jika suatu wilayah terlalu banyak jumlah
penduduknya, maka akan terjadi peningkatan tindak kekerasan karena saling
berebut lahan/mata pencaharian.
Persoalan kemacetan dan banjir di DKI Jakarta juga menjadi
tantangan besar yang harus dapat diselesaikan secara tuntas oleh kalangan
pemuda (jika dikatakan sebagai persoalan “klasik”, seharusnya kedua persoalan
ini sudah dapat diselesaikan sejak lama). Persoalan ini nampaknya tidak dapat
diselesaikan dalam jangka pendek, karena ada berbagai faktor yang berperan di
dalamnya. Namun demikian, apapun alasannya, tidak ada pilihan lain bagi DKI
Jakarta untuk menyelesaikan kedua persoalan ini jika diharapkan akan menjadi
destinasi pariwisata unggulan.
Konsep Akselerasi Kegiatan Kepariwisataan
Setelah memahami keseluruhan materi materi tulisan ini, maka
akan menjadi jelas bagi kita pengertian akselerasi kegiatan kepariwisataan
bukan berarti “upaya peningkatan jumlah kunjungan dan uang yang dibelanjakan
wisatawan sebanyak-banyaknya dalam waktu relatif singkat”. Istilah akselerasi
perlu dipahami sebagai upaya percepatan peningkatan pemahaman mengenai konsep
kepariwisataan yang ideal dan implementasinya dalam mendukung proses
pembangunan di wilayah DKI Jakarta. Dengan demikian, maka baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang tidak akan terjadi persoalan-persoalan besar
ketika kebijakan pembangunan kepariwisataan telah dilaksanakan.
Sementara itu, untuk meningkatkan daya tarik DKI Jakarta
sebagai destinasi pariwisata unggulan secara berkelanjutan, telah tersedia
begitu banyak informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau
perbandingan, khususnya jika dikaitkan dengan kreativitas. Sebagai contoh,
berbagai yang disiarkan oleh jaringan televisi seperti Travel and Living
Channel (TLC), National Geographic Channel dan Discovery Channel misalnya,
dengan mudah memberikan banyak informasi mengenai bagaimana menciptakan daya
tarik wisata. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi kalangan pemuda yang penuh
dengan ide dan kreativitas untuk melihat dan mengembangkannya setelah melalui
penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi di DKI Jakarta.
Namun demikian, sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan berarti harus
mematuhi batas-batas tertentu untuk menjamin keberlanjutan dimaksud. Di sinilah
letak pentingnya peran kaum muda untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan jangka pendek dan jangka panjang dalam kaitannya dengan pembangunan
kepariwisataan di DKI Jakarta. Pandangan ini hampir serupa dengan analogi
pendapat Charles Landry dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya
budaya (cultural resources) untuk pembangunan ekonomi di wilayah perkotaan,
yaitu bahwa: “The key problem was not how to identify them, but how to limit
the imagination, as the possibilities were endless”. Kalangan pemuda tidak
boleh didominasi oleh konsep quick yield strategy, karena telah banyak
contoh rusaknya destinasi pariwisata yang disebabkan oleh pola pikir tersebut.
Perlu dipahami bahwa pembatasan bukan dilakukan untuk mengurangi keuntungan
yang dapat diraih, melainkan justru untuk menjamin bahwa keuntungan akan
diperoleh dalam jangka waktu yang sangat panjang (atau mungkin selamanya).
Sebagai penutup, perlu diingat bahwa sangat penting bagi
kalangan pemuda untuk selalu bermimpi tentang DKI Jakarta sebagai sebuah
destinasi pariwisata yang sangat didambakan oleh banyak orang, mungkin seperti
kota Paris, London, Milan atau Jenewa. Mimpi itu harus sedemikian kuat sehingga
mendorong keinginan untuk mewujudkannya secara konsisten. Tanpa mimpi seperti
itu – yang sebenarnya berkaitan erat dengan karakter kepemimpinan (leadership)
– perkembangan kepariwisataan di DKI Jakarta tidak akan pernah berubah dari
kondisi yang sekarang. Seberapa besar dan kuat daya tahan kalangan pemuda untuk
berkontribusi dalam upaya mewujudkan mimpi tersebut, akan menentukan hasil
akhirnya dalam beberapa tahun ke depan.
«««««
REFERENSI
1Antariksa,
B. 2011a. Peluang dan Tantangan Pengembangan Kepariwisataan di Indonesia.
Makalah dalam Sosialisasi dan Gerakan Sadar Wisata. Solok, 12 Oktober
2011: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Barat: 2.
2Ibid,
2-3.
3Facts
and Figures. (http://unwto.org/, diakses 10 Oktober 2011).
4World
Tourism Organization. Tourism Vision 2020: Europe. 10. (http://pub.unwto.org/WebRoot/
Store/Shops/Infoshop/Products/1152/1152-1.pdf, diakses 10 Oktober 2011).
5Antariksa
2011a, ibid, 3.
6Muljadi,
A.J. 2009. Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada: 7-8.
1Ryan,
C. 1991. Recreational Tourism: A Social Science Perspective. London dan
New York: Routledge: 5-6.
1Gunn,
C.A. 1994. Tourism Planning: Basic, Concepts, Cases. Washington, DC and
London: Taylor & Francis: 5.
1Ramly,
N. 2007. Pariwisata Berwawasan Lingkungan: Belajar dari Kawasan Wisata Ancol.
Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu: 47.
7Antariksa,
B. 2011b. Penegakan Hukum Pariwisata Di DKI Jakarta Sebagai Destinasi
Pariwisata Internasional. Makalah dalam Pendidikan dan Pelatihan
Kepariwisataan Tingkat Dasar 2011. Jakarta, 8 November 2011. Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta: 3.
8Ibid.
9Antariksa,
B. 2011c. Analisis Awal Masalah Kerjasama Internasional Dalam Pengurangan
Dampak Perubahan Iklim Melalui Pariwisata: 2. (http://www.budpar.go.id/filedata/6153_2181
AnalisisAwalMasalahKerjasamaInternasional.pdf, diakses 1 Juni 2011).
10Antariksa,
B. 2011d. Peran Kerjasama Internasional di Bidang Kepariwisataan. Laporan
Penelitian Individual, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata: 5.
11Coelacanth:
Latimeria Chalumnae. (http://animals.nationalgeographic.com/animals/fish/
coelacanth/, diakses 7 Desember 2011).
12Transformers
Sales Boost Hasbro 2Q Revenue. 2011. (http://finance.yahoo.com/news/
Transformers-sales-boost-apf-960443150.html, diakses 15 Desember 2011).
13Antariksa
2011b, ibid, 4.
14Trout,
J. and Rivkin, S. 2008. Differentiate or Die: Survival in Our Era of Killer
Competition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.: 78.
15Budihardjo,
E. dan Sujarto, D. 2009. Kota Berkelanjutan (Sustainable City). Bandung:
PT. ALUMNI: 3, 10, 53.
16Ibid,
14, 57.
17Ibid,
216-219.
18Jakarta
Macet, Kendaraan Pribadi Bertambah. 2010. (http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/10/11/jakarta-macet-kendaraan-pribadi-bertambah.html,
diakses 6 Desember 2010).
19Addressing
Ambient Air Pollution in Jakarta, Indonesia. (http://www.esri.com/news/arcnews/
fall07articles/addressing-ambient-air.html, diakses 6 Desember 2010).
20Health
Costs of Jakarta Pollution to Rp. 4.3 Trillion in 2015. 2009. (http://thejakartaglobe.com/
city/health-costs-of-jakarta-pollution-to-rp-43-trillion-in-2015/329055,
diakses 6 Desember 2010).
21Damardono,
H. 2010. Infrastruktur: Transportasi Massal Versus Kemacetan. (http://www.land
policy.or.id/news/1/tahun/2010/bulan/02/tanggal/17/id/353/, diakses 6
Desember 2010).
22Sanitasi
Buruk, Kerugian Triliunan. 2010. (http://health.kompas.com/index.php/read/2010/10/
21/07103458/Sanitasi.Buruk..Kerugian.Triliunan-12, diakses 6 Desember
2010).
23Berapa
Jumlah Sampah di Teluk Jakarta? 2007.
(http://oseanografi.wordpress.com/2007/01/ 04/berapa-jumlah-sampah-di-teluk-jakarta/,
diakses 6 Desember 2010).
24Sampah
di DKI adalah “Bom Waktu”. 2009. (http://megapolitan.kompas.com/read/2009/09/29/
14351072/sampah.di.dki.adalah.bom.waktu, diakses 6 Desember 2010).
25Kejahatan
di Jakarta Terjadi Setiap 9 Menit. 2008. (http://www.lintasberita.com/go/366703,
diakses 6 Desember 2010).
26Saleh,
I. 1998. Wajah Perkotaan. Dalam Djarab, H. Rizki, R.M. dan Irahali, L. (Ed.). Beberapa
Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI: Mengenang Almarhum Prof. Dr. Komar
Kantaatmadja, SH., LL.M: 334. Bandung: Angkasa.
27Bekmoes,
R.V. 2010. Lonely Planet Indonesia. (http://books.google.co.id/books,
diakses 7 Desember 2010).
WISATA AGRO PELEPAH INDAH
“PELEPAH INDAH”
DESTINASI WISATA
AGRO PERKOTAAN
DI KELAPA GADING JAKARTA UTARA
Oleh : Beni P Piliang
Latar
Belakang
Jakarta
merupakan kota metropolitan dan sekaligus kota tujuan wisata yang penuh pesona.
Sebagai kota metropolitan, Jakarta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap
dari yang sederhana hingga modern. Penginapan murah sampai hotel berbintang
yang mewah ada di Jakarta. Begitu juga dengan pusat perbelanjaan, mau ke kaki
lima atau mall megah dan nyaman, dapat dikunjungi di Jakarta. Aneka tempat
hiburan seperti diskotek, klab malam, bar, restoran internasional sampai warung
tenda, bisa dijelajahi, ya … ini lah Jakarta segalanya ada dan memiliki daya
pikat tersendiri.
Jakarta
sebagai tujuan wisata, menyajikan atraksi dan obyek wisata menarik serta
beraneka ragam; dari museum yang menampilkan koleksi peninggalan masa lalu,
pergelaran kesenian daerah maupun kesenian mancanegara hingga taman rekreasi
yang serba lengkap dan modern. Lebih dari itu, komposisi penduduk yang datang
dari berbagai daerah di Nusantara dengan segala etnis dan budaya yang dibawanya
membuat Jakarta laksana 'Jendela Budaya' bangsa Indonesia.
Obyek-obyek
wisata dan rekreasi di Jakarta yang menarik untuk dikunjungi antara lain:
Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum-museum, Monumen Nasional (Monas); Taman Marga
Satwa Ragunan, Taman Mini Indonesia Indah dan Teater Imax Keong Emas, Taman Ria
Senayan, Dunia Fantasi, Taman Impian Jaya Ancol dengan Sea World-nya serta
masih banyak lagi.
Selain obyek-obyek wisata sebagaimana tersebut di atas,
Jakarta juga memiliki potensi wisata agro perkotaan yang dapat dikembangkan sebagai
pusat wisata agro, yang mampu memberikan nilai tambah bagi pengembangan wilayah
dan kesejahteraan masyarakat. Karena potensi wisata agro Jakarta memiliki nilai
budaya, estetika, dan edukasi serta ekonomi kreatif. Tiga faktor utama
yang menyebabkan belum berkembangnya wisata agro Jakarta adalah :
- Jakarta belum memiliki strategi pengelolaan wisata agro secara terpadu
- Masih kecilnya peran serta masyarakat dalam mengembangkan wisata agro di Jakarta.
- Kurangnya sosialisasi wisata agro kepada masyarakat Provinsi DKI Jakarta.dan duniar usaha.
Wisata Agro dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism),
yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan
tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar
di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan.
Aset penting untuk menarik kunjungan wisatawan dalam Wisata
Agro adalah keaslian, keunikan, kenyamanan, dan keindahan alam. Oleh sebab itu,
faktor kualitas lingkungan menjadi modal penting yang harus disediakan,
terutama pada wilayah - wilayah yang dimanfaatkan untuk dijelajahi para
wisatawan. Menyadari pentingnya nilai kualitas lingkungan tersebut, masyarakat
setempat perlu diajak untuk selalu menjaga keaslian, kenyamanan, dan
kelestarian lingkungannya.
Wisata
Agro Pelepah Indah
Wisata Agro Pelepah Indah Kelapa Gading, Kota Administrasi
Jakarta Utara, merupakan Pilot Project
Wisata Agro ruang terbuka buatan yang rencana akan didesain secara spesifik
dengan memperhatikan kondisi tata ruang, peruntukan lahan dan daya dukung
lingkungan. Pembangunan Wisata Agro Pelepah Indah dilakukan dengan melibatkan
peran pemerintah, swasta dan masyarakat lokal. Pengembangan fasilitas
pendukung, potensi wisata dan penerapan teknologi serta pelibatan peran serta
masyarakat dilakukan secara bertahap. Kesemua aspek tersebut diramu sedemikian
rupa sehingga dapat menghasilkan produk
atraksi wisata agro yang menarik atau memiliki nilai jual untuk wisatawan.
Fasilitas pendukung untuk akomodasi wisatawan dapat disediakan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat modern, namun tidak mengganggu keseimbangan ekosistem yang
ada.
Pengembangan Wisata
Agro Pelepah Indah pada konsep uniqueness, memuat konten yang dijadikan produk
wisata dengan kreteria spesifik, unik dan edukatif serta modern, dengan tetap
memperhatikan keasrian lingkungan dengan
aktrasi budaya dan kedai-kedai kuliner sebagai aspek pendukungnya. Pada kondisi
terkini, wisata agro Pelepah Indah yang terbentang sepanjang 1,5 km di Jalan
Pelepah Raya Kecamatan Kelapa Gading Kota Adminstrasi Jakarta Utara dihimpun
oleh komunitas yang terbagai atas 3 kelompok usaha yaitu; kelmpok tanaman hias,
kelompok burung, dan kelompok ikan hias.
Maksud dan Tujuan
- Memperkuat posisi Kota Administrasi Jakarta Utara sebagai etalase wisata Provinsi DKI Jakarta sebagaimana yang telah dicanangkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada Tahun 2009, dengan menjadikan Agro Wisata perkotaan sebagai salah satu primadona sektor pariwisata di Provinsi DKI Jakarta.
- Memberikan nilai tambah secara sosial, ekonomi dan ekologi bagi pengembangan wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara, khususnya Kecamatan Kelapa Gading dan penguatan gerakan hijau “go green” Jakarta.
- Menumbuh kembangkan gerakan ekonomi kreatif yang memberikan nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat baik dalam sektor formal maupun informal.
KONSEP
PENGEMBANGAN WISATA AGRO PELEPAH INDAH
Kerangka Pemikiran
Bagan Alur Penyusunan
Rencana Strategis Wisata
Agro Pelepah Indah Berbasis Partisipatif Masyarakat
Agro Pelepah Indah Berbasis Partisipatif Masyarakat
ASPEK
TEKNIS
Potensi Wisata Agro Pelepah Indah
Sumber daya yang tersedia dan akan dikembangkan pada Wisata
Agro Pelepah Indah Kelapa Gading Kota Administrasi Jakarta Utara adalah :
1. Kelompok
Usaha Burung
2. Kelompok
Usaha Ikan Hias
3. Kelompok Usaha Tanaman Hias
Sarana dan prasarana umum yang tersedia sebagai
pendukung pengembangan Wisata Agro Pelepah Indah Kelapa Gading Jakarta Utara
adalah :
1. Koridor Jalan Raya (Jalan Pelepah Raya)
2. Koridor pejalan kaki
3. Koridor penghijauan
4. Transportasi umum
5. Terminal banyangan angkutan
kota
Pengembangan Lanskap Wisata Agro Pelepah Indah
Sarana dan prasarana yang akan dikembangkan
dalam lanskap Wisata Agro Pelepah Indah Kelapa Gading Kota Administrasi Jakarta
Utara adalah :
- Green house kebun buah-buahan dan sayuran
- Area pengomposan
- Area penangkaran burung
- Area penangkaran ikan
- Area pemancingan modern
- Area bermain anak
- Shalter peristirahatan serta sanitasi umum
- Kedai makan, caffe dan tempat perbelanjaan termasuk souvenir
- Pendopo pertemuan yang juga dapat dijadikan tempat pementasan seni dan budaya serta pusat informasi.
Rencana Pengembangan Sarana dan Prasarana
Skala Prioritas
Skala prioritas pengembangan Wisata Agro Pelepah Raya Kelapa
Gading Kota Administrasi Jakarta Utara adalah :
- Penataan Konten Secara Zonasi
a. Revitalisasi
sentra tanaman hias menjadi “Zona Agro”
b. Revitalisasi
sentra burung dan sentra ikan hias menjadi “Zona Satwa”
- Pada tiap-tiap zona akan dikembangkan secara bertahap sarana dan prasarana pendukung sebagai berikut :
a.
Shalter peristirahatan
b.
Kedai makan, cafe dan tempat perbelanjaan termasuk souvenir
c.
Sarana sanitasi
umum
- Penataan taman penghijauan dan jalur pedistrian (pejalan kaki).
- Pengaturan lalu lintas jalan Pelepah Raya dari dua arah menjadi satu arah.
- Pembangunan gapura “Wisata Agro Pelepah Indah” pada sisi jalan yang menghadap jalan Perintis Kemerdekaan dan pada sisi jalan yang menghadap jalan Boulevard.
Pengelolaan Even Dan Promosi Wisata
Sebagai destinasi wisata, Wisata Agro Pelepah Indah Kelapa
Gading Kota Administrasi Jakarta Utara haruslah memiliki dan mengelola even
wisata dan promosi wisata. Beberapa even besar dengan tajuk :
- Jakarta Utara Agro Festival (festival dengan nuansa agro)
- Jakarta Utara Kreatif Fair (pameran wisata agro dan ekonomi kreatif)
- Pelepah Indah Street Festival (festival seni dan budaya dengan nuansa agro)
Patut
dipertimbangkan sebagai even tahun dalam kalender kegiatan Wisata Agro Pelepah Indah Kelapa Gading Jakarta Utara.
Selain itu even-even kecil yang bersifat kreatif dan
edukatif yang melibatkan masyarakat (komunitas pencinta burung, komunitas pencinta ikan dan komunitas pencinta
tanaman) dan pelajar maupun mahasiswa perlu dikelola secara regular
dalam kalender even bulanan. Beberapa
tersebut yang dapat dikelola diantaranya adalah :
- Lomba /kontes burung berkicau
- Lomba/kontes burung merpati
- Lomba/kontes ikan hias
- Lomba/kontes tanaman hias
- Pentas musik mingguan dengan tema nostalgia, balada dan pelestarian lingkungan.
ASPEK
KELEMBAGAAN
Kelembagan dalam
pengelolaan Wisata Agro Pelepah Indah Kelapa Gading Kota Administrasi Jakarta Utara
adalah sebagai berikut :
Pembina : 1. Pemerintah Kota Administrasi
Jakarta Utara
2. Asosiasi
Wisata Agro Indonesia Provinsi DKI Jakarta
(AWAI
Provinsi DKI Jakarta)
3. Suku Dinas Terkait dilingkungan Kota Administrasi Jakarta Utara.
Penasehat : Asosiasi Wisata Agro Indonesia Kota Administrasi Jakarta Utara
(AWAI Kota Adminstrasi Jakarta utara)
Pengelola : Pelepah Indah Agrotourism Development Centre
Untuk pengembangan Wisata
Agro Pelepah Indah Kelapa Gading Kota Administrasi Jakarta Utara, Pembina (AWAI) dapat
menjalin kemitraan strategis dengan instansi pemerintah terkait baik di tingkat
Provinsi maupun Kota Administrasi Jakarta Utara.
PUSAT
INFORMASI
Pusat Informasi Pelepah Indah :
DR. H. Suprawito, M.Si Hp 08118 36350
Drs. Beni P Pilaing Hp 0819100 20013
Email : wisataagropelepahindah@gmail.com
Situs : www.pelepahindah.com
Popular Posts
-
Beni P Piliang Ampun Jakarta. Proyek Reklamasi Pantai Utara bermula dari Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang reklamasi pa...
-
Beni P Piliang Ampun Jakarta. Kecamatan Cilincing merupakan salah satu Kecamatan yang berada di Wilayah Kota Administrasi Ja...
-
PENDAHULUAN Sumberdaya pesisir dan lautan, merupakan salah satu modal dasar pembangunan Indonesia yang sangat diharapkan saat ini,...
-
Pembangunan Jalan Tol Dalam Kota, Solusi Mengatasi Kemacetan ? JAKARTA, Ampun Jakarta – Dengan disahkannya Peraturan Daerah Rencan...
-
Beni P Piliang Ampun Jakarta. Beberapa tahun belakangan ini Jakarta Utara sebagai icon Pesisir Jakarta semakin ruwet. Persoalan ...
Category List
- Editorial (1)
- Ilmu Pengetahuan (1)
- Lingkungan (5)
- Pariwisata (4)
- Pembangunan (3)
- Politik (1)
- Sosial Ekonomi (2)
- Tata Ruang (3)
Pengunjung Hari Ini
Kampanye Pesisir
PELEPAH INDAH
AWAI DKI JAKARTA
Label
- Editorial (1)
- Ilmu Pengetahuan (1)
- Lingkungan (5)
- Pariwisata (4)
- Pembangunan (3)
- Politik (1)
- Sosial Ekonomi (2)
- Tata Ruang (3)
Blogger templates
Blogger Tricks
Blogger Themes
Kembaki ke
Beni P Piliang. Diberdayakan oleh Blogger.