Tinjauan Dampak Global Warming

PENDAHULUAN

Sumberdaya pesisir dan lautan, merupakan salah satu modal dasar pembangunan Indonesia yang sangat diharapkan saat ini, disamping sumberdaya alam darat. Tetapi sumberdaya alam darat serta minyak dan 'gas semakin berkurang akibat eksploitasi yang berlebihan sehingga peranan sumberdaya pesisir dan lautan semakin penting untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa yang akan datang.

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena di dukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang, hutan magrove, estuaria, padang lamun dan sebagainya. Selain itu wilayah pesisir juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang cukup tinggi nilai ekonomisnya.

Dalam satu dekade belakangan ini, laju pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir mulai intensif untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan kebutuhan lahan untuk pemukiman mereka. Salah karena akan menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil terhadap satu potensi wilayah pesisir yang telah dimanwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Dampak negatif tersefaatkan manusia sejak dahulu adalah sebagai tembut misalnya berupa kenaikan paras muka air laut (Sea Level Rise), penpat tinggal dengan alasan yang bervariasi seperti ingkatan frekuensi banjir, intrusi air laut, erosi pantai tentunya akan memi transportasi, tingginya aktivitas perdagangan dan liki dampak ekonomis. lain sebagainya. Hampir semua kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir, yang berfungsi

DEFINISI WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL

menjadi lokasi permukiman, perdagangan, perhubungan, pengembangan industri dan berbagai Pertanyaan pertama yang seringkali muncul dalain pengelolaan sektor lainnya. Diperkirakan 60% dari populasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah bagaimana menentukan penduduk Indonesia, dan 80% dari lokasi industri batas-batas dari suatu wilayah pesisir (coastal zone). Sampai sekarang berada di wilayah pesisir. belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat Berkembangnya berbagai kepentingan tersekesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah but membuat wilayah pesisir rnenyangga beban peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai lingkungan yang berat akibat pemanfaatan yang (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas tidak terkendali, tidak teratur, serta tidak rnernper(boundaries), yaitu : batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas timbangkan penggunaan teknologi yang ramah yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Untuk keperluan Iingkungan. Hal ini diperberat pula oleh kenyataan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan bahwa wilayah pesisir rentan terhadap perubahan garis pantai relatif mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara Sungai lingkungan dan bencana alam karena pengaruh Brantas dan Sungai Bengawan Solo, atau batas wilayah pesisir besar dari daratan dan lautan seperti banjir, tsuna Kabupaten Kupang adalah antara Tanjung Nasikonis dan Pulau Sabu, mi, kenaikan suhu global (Global Warming) dan dan batas wilayah pesisir DKI Jakarta adalah antara Sungai Dadap di lain-lain. sebelah Barat dan Tanjung Karawang di sebelah Timur. Disadari bahwa tanah air Indonesia terdiri dari Akan tetapi, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak untaian ribuan pulau yang satu dengan yang lainya lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan. Dengan dibatasi oleh perairan laut. Kondisi yang demikian perkataan lain, batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke negara ini menghadapkannya pada masalah interaksi yang lain. Hal ini dapat dimengerti, karena setiap negara merniliki karakantara daratan dan lautan, khususnya pada perteteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri muan antara kedua wilayah itu, ialah di sepanjang (khas). pantainya. Oleh karena itu lingkungan pesisir dan Pada Gambar 2.1 diperlihatkan beberapa alternatif (pilihan) dalam pulau-pulau kecil perlu diamati dan dipelajari dalam menentukan batas ke arah darat dan ke arah laut dari suatu wilayah hubungannya dengan gejala-gejala alam yang terpesisir. Pada satu ekstrirn, suatu wilayah pesisir dapat meliputi suatu jadi. Salah satu gejala alam yang memerlukan kawasan yang sangat luas mulai dari batas lautan (terluar) ZEE sampai cukup perhatian adalah kenaikan suhu global daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim laut. Pada ekstrim lainnya, (Global Warming). Gejala alam ini perlu dipelajari suatu wilayah pesisir hanya meliputi kawasan peralihan antara ekosistem laut dan daratan yang sangat sempit, 'yaitu dari garis rata-rata pasanq tertinggi sampai 200 m ke arah darat dan ke arah laut meliputi garis pantai pada saat rata-rata pasang terendah. Batasan wilayah pesisir yang sangat sempit ini dianut oleh Kosta Rika. Sementara itu, negara-negara lain mengambil batasan wilayah pesisir di antara kedua ekstrim tersebut.

Menurut Soegiarto (1976), definisi wilayah pesisir yang diqu­nakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik ker­ing maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan' perembesan air asin; sedan­gkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pence­maran.

Definisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga meru­pakan ekosistem yang paling rnudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan ekosistem pesisir.

Dalam pada itu, berdasarkan Naskah Akademis Pengelolaan Wilayah Pesisir yang disusun oleh Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001 memberikan tiga perdekatan batasan wilayah pesisir, yaitu
  1. Pendekatan ekologis :  wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti pasang surut dan intrusi air laut; dan kawasan laut  yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan, seperti sedimentasi dan pencemaran.
  2. Pendekatan administratif : wilayah pesisir adalah wilayah yang secara  administrasi pemerintahan mempunyai  batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang  mempunyai laut, dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pan­tai untuk propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota.
Pendekatan perencanaan : wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumberdaya yang difokuskan pada penanganan isu yang akan dikelola secara bertanggung jawab.

LINGKUNGAN PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL

Permasalahan yang terjadi di kawasan pesisir Indonesia yang perlu dicermati adalah adanya - fenornena pem­anasan global (global warming). Menurut para ahli, suhu di bumi mengalami siklus kenaikan dan penu­runan setiap lebih kurang 50.000 tahun. Dalam sik­Ius tersebut saat ini suhu di bumi sedang berada pada posisi menaik. Namun karena kegiatan antro­pogenik dalam dasawarsa terakhir cenderung terja­di peningkatan suhu yang dipercepat.

Peningkatan kegiatan manusia khususnya kegiatan transportasi, industri, pembangunan gedung-gedung dengan seluruhnya hampir tertutup kaca akhir-akhir inl, rnaka akan mengakibatkan pen­ingkatan efek rumah kaca (green house effect). Salah satu akibat dari peningkatan efek rumah kaca tersebut adalah terjadinya pemanasan suhu di bumi (global warming).

Pemanasan global disebabkan oleh timbunan "gas-gas rumah kaca" -seperti karbondioksida, metana, nitrat oksida dan klorofluorokarbon (CFC) ­di atmosfer. Timbunan ini memperangkap panas dari matahari sehingga menimbulkan peningkatan suhu. Ada banyak hal yang belum pasti tentang pemanasan global. Tapi, ada dua hal yang dapat dipastikan menurut Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC atau Panel antar pemerintah tentang Perubahan Ikiim), yaitu
  1. Bahwa ada efek rumah kaca alami di Bumi, dan
  2. Bahwa gas-gas yang mengakibatkan efek rumah kaca kini meningkat dalarn atmosfer aki­bat ulah manusia. Analisis IPCC juga menyatakan bahwa suhu
rata-rata bumi meningkat sekitar 5 derajat celcius dalanrn waktu 100 tahun terakhir, Untuk mencegah pemanasan lebih lanjut, konsentrasi gas-gas rurnah kaca harus distabilkan. Untuk itu perlu penurunan besar dalam konsentrasi emisi gas-gas tersebut yaitu sampai 60 persen

Pemanasan global secara umum disebabkan oleh dua hal: pembakaran bahan fosil dalam indus­tri, mobil, pembangkit listrik, dan sebagainya; dan emisi berbagai gas dari kegiatan industri termasuk juga penggunaan dan pembuatan CFC. CFC inilah yang merusak lapisan ozon sehingga memu­ngkinkan sinar ultraviolet yang me~bahayakan menembus bumi. UNEP memperkirakan bahwa jika lapisan ozon berkurang 10 persen, kejadian kanker kulit akan meningkat 26 persen di seluruh dunia.

Dampak potensial dari pemanasan global amat besar dan mempunyai akibat besar bagi semua masyarakat manusia. Tetapi kisaran ketidakpastian dalarn analisis ilmiah sampai saat ini berarti bahwa masih tidak mungkin untuk menyatakan dengan tepat apa dampak yang mungkin terjadi, atau apa yang akan dirasakan, bahkan pada tingkat global.

Jika kita mengambil analisis IPCC saja, dan mengabaikan skenario yang lebih suram atau opti­mis yang disarankan oleh pihak-pihak lain, maka pembuat keputusan masih dihadapkan pada pilihan dengan kisaran yang amat luas. Hal ini digam­barkan oleh dua skenario di bawah ini.

SKENARIO 'OPTIMIS' IPCC

Pada kisaran bawah, atau ujung optimis dari kisaran prediksi IPCC, kepekaan iklim global ter­hadap peningkatan gas-gas rumah kaca rendah. Di bawah kondisi ini, dan kecenderungan berlang­sungnya "bisnis seperti biasa", peningkatan suhu global pada tahun 2030 adalah 0,50 C dan per­mukaan laut naik 5 em. Peningkatan suhu yang di­setujui pada peralihan ke abad 21 adalah 1,50 C dan peningkatan permukaan laut 45 em. Jika prediksi ini benar, tidak akan ada atau hanya sedikit perubahan iklim pada 30 atau 40 tahun mendatang. dampaknya baru akan mulai tampak jelas pada paruh kedua abad mendatang.

SKENARIO 'PES1MIS' IPCC

Pada ujung atas, atau pesimis dari kisaran prediksi IPCC, kepekaan iklim terhadap peningkatan konsentrasi gas rumah kaea tinggi. Oi bawah kondisi ini, dengan ske­nario 'bisnis seperti biasa', peningkatan suhu global pada tahun 2030 adalah 1,5° C dan permukaan laut naik 45 em. Peningkatan suhu yang disetujui pada peralihan abad adalah 4,5° C dan peningkatan permukaan laut adalah satu meter.

Dalam hai ini ramalan peningkatan suhu sampai tahun 2030 adalah sekitar tiga kali lebih besar daripada abad yang lalu, atau sekitar 0,4? C per dekade. Permukaan laut naik lebih dari 10 em per dekade, 10 kali lebih eepat daripada selama seratus tahun terakhir.

Bagaimana nasib Indonesia jika terjadi perubahan iklim? Indonesia akan kehilangan lahan pesisir dan ter­ganggunya produksi pangan yang terdapat di daerah dekat pantai. Hal ini akan terjadi jika pemanasan global berkelan­jutan sehingga menimbulkan naiknya permukaan air laut.

ndonesia, seperti banyak negara sedang berkembang lain, nampaknya bukan salah satu kontributor terbesar bagi pemanasan global saat ini. Walaupun demikian, Jika pola penggunaan energi dan perkembangan industri serta perusakan hutan yang terjadi saat ini berlangsung terus, ada kemungkinan bahwa Indonesia akan turut bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global, Sebagai eon­toh, emisi C02 Indonesia saat ini terbesar di Asia Tenggara. Pada tahun 2010 diperkirakan ernisi C02 akan meningkat lima kali dari kadar tahun 1986, yaitu meneapai 469 juta ton. Hal ini terjadi akibat peningkatan tingkat konsumsi listrik rumah tangga dan industri serta penggunaan energi yang tidak efisien. Pada saat yang sama, hutan Indonesia, peny­erap C02 terbesar, makin meneiut akibat penebangan yang menurut Bank Ounia meneapai 1 juta hektare per tahun pada tahun 1990.

Laporan penelitian UNEP tentang perubahan iklim di Asia Tenggara menunjukkan bahwa peningkatan C02 dua kaii lipat akan menimbulkan peningkatan suhu sebesar 3,0 -4,2°C di Indonesia. Perubahan pola euaea lokal akan menyebabkan panen padi, kedelai dan kaeang turun sam­pai masing-masing 2,5, 20 dan 40 persen. Pemanasan global akan menyebabkan naiknya permukaan air laut yang dikhawatirkan akan menenggelamkan daerah-daerah pesisir dataran rendah di bagian Utara Jawa, Timur Sumatera, Selatan Sulawesi dan Pulau-pulau Sunda Keci!.

Tanda-tanda pemanasanglobal mungkin sudah mulai terlihat di Indonesia. Oalam duapuluh tahun terakhir, kita sudah mengalami 5 kali musim kemarau amat panjang yang mempunyai dampak amat merugikan. Pada tahun 1983, di Pulau Pari, Teluk Jakarta terjadi peningkatan suhu air ambi­en selama 12 minggu dari suhu normal 28° C (+ 2) menjadi 3~ C. Akibatnya terjadi pemutihan terumbu karang yang mematikan banvak karang dan merugikan perikanan. Jika hal seperti ini terjadi pada skala yang lebih besar di berba­gai daerah di Indonesia, dapat dibayangkan beneana yang akan terjadi. Seperti diketahui, terumbu karang mempunyai peranan penting dalam perikanan.

Kita juga masih ingat bahwa kemarau panjang yang ter­jadi pada tahun 1982 1983, 1987, 1991, 1994, dan 1997 telah menyebabkan kebakaran hutan yang luas dan merugikan negara serta rnasyarakat setempat. Pada tahun 1982-1983, sekitar 3,6 juta hektare hutan di Kalimantan Timur rusak terbakar api. Pada tahun 1995 di Sumatera maupun Kalimantan juga terjadi kebakaran hutan yang cukup hebat.

Pada tahun 1991, 1994 dan 1997, kebakaran hutan menimbulkan kerugian tidak hanya dalam sektor kehutanan, tapi juga sektor transportasi dan sektor perda­gangan di berbagai pulau akibat tebalnya asap yang ditimbulkan oleh kebakaran. Beberapa kali penerbangan dibatalkan atau pesawat terbang gagal mendarat karena lapangan terbang tertutup oJeh asap. Keeelakaan kapal juga tidak terhindarkan karena jarak pandang terhalang oleh asap.

Kernarau panjang yang mulai sering terjadi, menurut beberapa pakar, diakibatkan oleh fenomena EI Nino, yaitu naiknya suhu di Samudra Pasifik sampai 31° C sehingga mernbawa kekeringan di Indonesia. Para ahli klimatologi menyatakan bahwa siklus kejadian EI Nino berlangsung antara 7 sampai 10 tahun. Jika kita berasumsi bahwa kemarau tahun 1982-1983 adalah akibat EI Nino, maka seharusnya kemarau panjang berikutnya terjadi tahun 1989-1990. Namun kita megalami kemarau panjang berikutnya tahun 1987, lima tahun kemudian. Kemarau panjang kembali terjadi pada tahun 1991, atau empat tahun setelah kemarau 1987. Setelah itu kemarau pan­jang terjadi lagi pada tahun 1994, dan 1997 yang berarti kemarau panjang selalu terjadi dalam periode 3 tahun setelah 1991. Menurut kajian perwakilan UNESCO di Indonesia pada tahun 1998, disinyalir bahwa EI Nino 1997/1998 telah menambah beban krisis ekonomi yang terjadi.

Evaluasi terhadap kondisi panjang musim di Indonesia yang dilakukan oleh BMG memperlihatkan bahwa El-Nino 1997/1998, musim kemarau yang terjadi merupakan yang terpanjang sejak eatatan musim kema­rau sejak 1961. Hal ini telah memberikan dampak negatif terhadap sektor pertanian, dengan terganggunya kondisi pangan, terutama rusaknya program swasembada nasional yang hingga kini belum dapat diperbaiki. Oi bidang kehutanan, EI Nino telah memperparah kebakaran hutan yang terjadi sejak 1982, yang kemudian menjadi beneana kebakaran hutan nasional dengan puneaknya pada bulan september 1997. Selain itu, EI Nino berdampak pada bidang kesehatan, yaitu dengan adanya peneemaran udara oleh asap.

Lalu pada awal tahun 1992 hujan deras mengguyur berbagai daerah di Indonesia lebih deras dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan pemantauan ~Badan Meteorologi dan Geofisika terhadap 90 daerah prakiraan musim, diketahui bahwa musim hujan tahun 1992/1993 bersifat di atas, normal pada 45 daerah (50 persen). Kejadian ini juga rnenimbuikan banyak kerugian, terma­suk korban jiwa. Di Jawa Tengah, 51 orang tewas dan lima lainnya hilang akibat banjir, 284 rumah roboh dan 420 rusak ringan, sekitar 185,378 jiwa terpaksa men­gungsi. Hujan deras ini kembali mengguyur pada tahun 1996, dan puneaknya pada tahun 2002 yang mengaki­batkan banjir terbesar sepanjang sejarah di DKI Jakarta.

Curah hujan yang tinggi disebabkan oleh fenomena kebalikan dari EI Nino yaitu La Nina. La Nina adalah gejala menurunnya suhu permukaan Samudra Pasifik yang mernbawa angin serta membawa hujan ke Australia dan Asia bagian Selatan, termasuk Indonesia. La Nina yang terjadi membawa eurah hujan tinggi disertai angin topan.

Apakah kemarau panjang dan eurah huian di atas normal yang makin sering terjadi merupakan kejadian alam biasa atau merupakan dampak dari pemanasan global? Hal ini memang belum dapat dipastikan. Namun, jika pemanasan global benar-benar terjadi, maka yang akan kita alami adalah kernarau.panianq dan eurah hujan di atas normal dalam skala yang lebih besar dan lebih luas sehingga dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.

Pemanasan global disamping menimbulkan perubahan iklim juga akan mengakibatkan kenaikan muka paras muka air laut (Sea Level Rise, untuk praktisnya kita sebut SLR). Kejadian SLR tersebut akan mengakibatkan mundurnya garis pantai. Salah satu cara paling sederhana untuk mem­perkirakan kemunduran garis pantai adalah dengan menganggap profit pantai setelah SLR adalah tetap. Dengan anggapan seperti ini maka besarnya kemunduran garis pantai adalah sebanding dengan SLR dibagi dengan kemiringan pantai.

Apabila kita tinjau panjang garis pantai total yang dimili­ki oleh Indonesia adalah 81.000 km dan kita anggap bahwa genangan pantai merata akibat SLR ini adalah selebar 50 m maka berarti lahan pesisir (termasuk pulau-pulau kecil) yanq hilang dalam 100 tahun mencapai 405.000 Ha atau per tahunnya 4.050 Ha.

Dampak lain akibat SLR adalah terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas banjir. Hal tersebut dikarenakan efek pembendungan oleh adanya SLR. Pembendungan ini mengaki­batkan kecepatan berkurang dan laju sedimentasi di muara akan bertambah yang berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara. Pendangkalan muara akan menim­bulkan juga efek pembendungan yang cukup signifikan yang pada gilirannya akan meningkatkan frekuensi banjir karena kapasitas tampang sungai yang terlampaui oleh debit sungai.

Dengan adanya SLR juga mengakibatkan volume air laut yang mendesak ke dalam sungai akan semakin besar. Air laut yang mendesak masuk jauh ke darat melalui sungai ini merupakan masalah bagi kota-kota pantai yang meng­gantungkan air bakunya dari sungai.

Perubahan rejim hidraulik daerah pesisir dapat pula berpengaruh pada mangrove di daerah payau. Apabila daerah daratan di belakang zona bakau memungkinkan untuk migrasi tanaman mangrove, maka kemungkinan akan terjadi pergeseran hutan bakau ke hulu. Sebaliknya bila daratan di sisi belakang terbatas (karena keadaan geologi atau peruntukan lahan), maka zona mangrove akan berku­rang atau bahkan punah.

Terjadinya SLR juga berdampak terhadap keamanan bangunan pantai yang ada. Karena adanya SLR akan rnenyebabkan peningkatan tinggi gelombang. Selain itu SLR juga akan meningkatkan frekuensi overtopping bangunan tersebut, sehingga tingkat keamanan bangunan berkurang.

Selain dampak-darnpak diatas, masih banyak pengaruh SLR yang dapat te~adi antara lain dampak terhadap lingkungan biotik. Dengan adanya SLR lingkungan biotik akan terpengaruh terutama di daerah rawa dan perairan payau.

ANTISIPASI DAMPAK GLOBAL WARMING TERHADAP PESISIR DAN PULALI PULAU KECIL

Untuk rnenangani rnasalah bencana pesisir dan pulau­pulau kecil maka dikenal dengan penanggulangan bencana pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu suatu siklus kegiatan yang saling berkaitan mulai dari kegiatan mitigasi atau antisipasi; kegiatan pencegahan/preventif; kegiatan pemulihan yang meliputi restorasi, rehabilitasi dan rekonstruksi; dan kegiatan pembangunan. Mitigasi adalah kegiatan yangberupaya mengantisi­pasi kerusakan agar dampak yang ditimbulkan dapat diku­rangi. Kegiatan pence'gahan/preventif adalah kegiatan yang berupaya untuk mencegah terjadinya kerusakan. Kegiatan mitigasi dan pencegahan ini biasanya dilakukan sebelum kerusakan terjadi. Sedangkan kegiatan pemulihan adalah kegiatan yang berupaya memulihkan keadaan yang telah mengalami kerusakan lingkungan kembali ke keadaan semula.

Sebagai upaya untuk mengantisipasi bencana pesisir dan pulau-pulau kecil yang dampaknya dapat merugikan biota pesisir dan pulau-pulau kecil dan kehidupan manusia, maka perlu melakukan upaya penangulangan dengan penggunaan teknologi yang dapat mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat bencana alam (ter­masuk Sea Level Rise). Beberapa hal yang harus dilakukan untuk mengurangi terjadinya pemanasan global:
  1. Konservasi energi
  2. Eliminasi Chlorofluorocarbon
  3. Menukar bahan bakar
  4. Mengurangi emisi metana dan nitrat oksida
  5. Penggunaan bahan bakar biomasa dan kompor masak
  6. Penggunaan Teknologi energi yang dapat diper baharui
  7. Reboisasi

ASPEK PENGELOLAAN

Agar dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan lingkungannya, maka pengelolaan pesisir yang arif perlu terus dikembangkan. Dengan mengadaptasi (IPCG. 1990), pada prinsipnya pengelolaan kawasan pesisir (coastal management) bertujuan untuk :
  1. Menghindari pengembangan di daerah ekosistem yang rawan dan rentan
  2. Mengusahakan agar sistem perlindungan alami tetap berfungsi dengan baik,
  3. Melindungi keselamatan manusia, harta benda dan kegiatan ekonominya dari bahaya yang datang dari laut, dengan tetap memperhatikan aspek ekologi, kultur, sejarah, estetika dan kebutuhan manusia akan rasa aman serta kesejahteraan (Jansen, 1990)
Secara filosofis, penanggulangan bencana pesisir dan pulau-pulau kecil dapat ditempuh melalui beberapa alternatif berikut:
  1. Pola protektif, yaitu dengan membuat bangunan pantai yang secara langsung "menahan proses alarn yang terjadi". Cara ini yang paling banyak dikem­bangkan di Indonesia.
  2. Pola adaptif, yakni berusaha menyesuaikan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan perubahan alam yang terjadi. Saat ini mulai banyak dikem-. bangkan pendekatan "megascale", di manapengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil direncanakan berdasar pola morfodinamika spesifik di pesisir dan pulau­pulau kecil yang dikembangkan.
  3. Pola mundur (retreat) atau do-nothing, dengan tidak melawan proses dinamika alarni yang terjadi tetapi "mengalah" pada proses alarn dan menyesuaikan peruntukan sesuai dengan kondisi perubahan alam yang terjadi.
Tabel 5.1 menunjukkan contoh pilihan teknologi untuk masing-masing pola pengelolaan pesisir berkaitan dengan kenaikan paras muka air laut.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang sangat penting bagi kesejahteraan manusia. Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang mendukung banyak aktifitas manusia merupakan ekosistem yang sangat kava sekaligus sangat rentan terhadap kerusakan dan perusakan. Untuk melindungi dan menjaga kelestariannya, maka upaya-upaya penanggulangan pesisir dan pulau-pulau kecil harus ditinjau secara komprehensif. Cara-cara konven­sional dengan "pendekatan keras" untuk penanggulangan kerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil penerapannya perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Cara penanganan yang lebih komprehensif dan ramah lingkun­gan perlu terus dikaji dan dikembangkan, yaitu dengan pola adaptif dan pola mundur (retreat atau do nothing).


Disadur dari Tulisan :

Prof Widi Agoes Pratikto, M.Sc., P.hD
Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M.Eng

Editor : Beni P Piliang

Leave a Reply